4 Aspek Mampu (Istitho’ah) yang Dipersyaratkan dalam Haji dan Umroh

Haji dan umroh hukumnya wajib bagi yang mampu. Meskipun ada beberapa ulama yang berpendapat hukum umroh adalah sunnah muakkad, tapi pendapat yang lebih kuat adalah umroh hukumnya wajib bagi yang mampu, sekali seumur hidup.

Kemampuan seseorang dalam menjalankan ibadah haji dan umroh menjadi salah satu syarat wajib haji dan umroh. Oh iya, perlu diingat bahwa syarat wajib haji/umroh tidak sama dengan wajib haji/umroh. Syarat wajib haji/umroh adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga seseorang menjadi wajib melaksanakan haji/umroh. Sedangkan wajib haji/umroh adalah aktivitas yang harus dilakukan dalam manasik haji/umroh, dan apabila tidak dilakukan maka haji/umrohnya tetap sah tapi harus membayar dam.

Syarat Wajib Haji/Umroh

Syarat wajib umroh sama dengan syarat wajib haji. Syarat-syarat agar seseorang dikategorikan sudah jatuh kewajiban melaksanakan haji/umroh ada 5, yaitu:

  1. Islam. Orang kafir tidak wajib haji/umroh.
  2. Baligh. Anak-anak tidak wajib haji/umroh. Namun jika ada anak kecil yang belum baligh berhaji, maka hajinya tetap sah. Tetapi hajinya tersebut dianggap sebagai haji tathowwu’ (sunnah). Ketika baligh, maka berdasarkan ijmak (kesepakatan) ulama ia masih terkena kewajiban haji.
  3. Berakal.
  4. Merdeka (bukan budak). Sekarang sudah tidak ada perbudakan ya….
  5. Kemampuan (istitho’ah)

Jika tidak memenuhi kelima syarat di atas, maka seseorang tidak wajib melaksanakan haji/umroh.

maksud mampu (istitho'ah) dalam haji dan umroh

Nah, pada kesempatan kali ini kita akan membahas masalah kemampuan (istitho’ah). Di awal tulisan ini sudah disebutkan bahwa haji/umroh hukumnya wajib bagi yang mampu, sekali seumur hidup. Lalu bagaimanakah yang dimaksud dengan mampu itu?

4 Aspek Kemampuan (Istitho’ah) dalam Ibadah Haji/Umroh

Seseorang dikatakan mampu melaksanakan ibadah haji/umroh jika mampu dalam 4 hal berikut:

1. Memiliki Perbekalan (Wujud Az Zaad)

Seseorang harus memiliki dana yang cukup untuk biaya hidup selama perjalanan pulang pergi, dan selama ibadah di tanah suci. Disyaratkan pula tersedianya air yang cukup. Selain itu, juga disyaratkan mempunyai kelebihan dana dari utangnya dan kebutuhan orang yang wajib ia nafkahi selama perjalanan pergi pulang. Termasuk juga tempat tinggal yang layak bagi orang yang wajib ia nafkahi dan budak yang ia miliki.

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang finansialnya terbatas hanya mampu membiayai haji saja atau umroh saja? Mana yang harus diprioritaskan?

Bagi kaum muslimin yang hanya mampu membiayai salah satu antara daftar haji atau melaksanakan umroh, maka dahulukan haji meskipun harus menanti beberapa tahun. Di Indonesia, biaya untuk mendapatkan porsi haji adalah sebesar Rp 25 juta. Bagi Anda yang sudah memiliki tabungan sebesar biaya tersebut, gunakanlah untuk mendaftar haji dibandingkan mendaftar umroh.

Haji lebih utama dibandingkan umroh, baik umroh ketika Ramadhan maupun umroh di luar Ramadhan. Banyak sekali dalil yang menerangkan keutamaan ibadah haji.

2. Ada Kendaraan (Wujud Ar Raahilah)

Ada kendaraan bisa dalam dua kondisi, yaitu menyewa atau membeli kendaraan. Ini berlaku jika perjalanan itu dua marhalah (84 km) atau lebih, baik mampu berjalan atau tidak.

Jika perjalanan kurang dari 2 marhalah dan ia mampu berjalan, maka wajib baginya berhaji/umroh walaupun tidak ada kendaraan.

3. Perjalanan Aman (Takhliyah Ath Thaariq)

Perjalanan aman adalah menurut persangkaan kuatnya. Apabila seseorang merasa bahwa perjalanan tersebut tidak aman untuk dirinya, hartanya, dan kehormatannya, maka ia tidak wajib haji/umroh.

4. Memungkinkan Melakukan Perjalanan (Imkaanul Masiir)

yaitu masih ada waktu tersisa setelah tersedianya bekal dan kendaraan yang memungkinkan melakukan perjalanan menuju ibadah haji. Apabila memungkinkan tetapi dibutuhkan waktu beberapa hari dengan perjalanan cepat, maka tidak wajib haji, karena membahayakan diri.

Syarat Istitho’ah (Kemampuan) dalam Ibadah Haji/Umroh

Jika seorang laki-laki tidak mendapati ar raahilah (kendaraan), maka baginya ada 2 kemungkinan:

  1. Jika antara dia dengan Mekah berjarak 2 marhalah (84 km) atau lebih, maka ia tidak wajib berhaji. Hal ini berlaku apakah ia mampu berjalan ataukah tidak.
  2. Jika jarak antara dia dengan Mekah kurang dari 2 marhalah (84 km), maka ia wajib berhaji jika mampu berjalan. Jika tidak mampu berjalan, maka tidak wajib berhaji.

Sedangkan untuk wanita, baru wajib berhaji jika ada kendaraan. Jika tidak ada kendaraan, maka tidak wajib baginya berhaji.

Macam-Macam Istitho’ah (Kemampuan) dalam Ibadah Haji/Umroh

Istitho’ah adalah syarat dalam haji/umroh. Istitho’ah ada 2 macam, yaitu:

Istitho’ah bin Nafsi (Pada Diri Sendiri)

  1. Memiliki bekal pergi dan pulang.
  2. Ada kendaraan yang baik untuk dikendarai.
  3. Memiliki makanan dan air untuk hewan di tempat yang biasa dengan harga sepadan.
  4. Mampu naik kendaraan tanpa ada kesulitan besar.
  5. Mampu melakukan perjalanan.
  6. Perjalanan aman. Menurut perkiraan kuatnya, perjalanan itu selamat.
  7. Adanya suami atau mahram atau wanita yang tsiqqoh (terpercaya) bagi wanita. Wanita boleh berhaji/umroh sendirian untuk menunaikan kewajiban Islam jika ia yakin dirinya aman.

Istitho’ah lil Ghoiri (Pada yang Lain)

Yaitu pada mayat (orang yang sudah meninggal) dan pada orang ‘aajiz (orang yang sudah tidak mampu berangkat haji). Pada yang demikian, maka kewajiban haji digantikan oleh orang lain (badal haji).

Kemampuan atas mayat (orang yang sudah meninggal) ada 3 kondisi, yaitu:

  1. Pada masa hidupnya ia sudah wajib berhaji. Maka setelah meninggal, ia wajib dihajikan oleh ahli warisnya dengan harta peninggalannya. Jika ia tidak mempunyai harta peniggalan, maka ahli waris disunnahkan menghajikannya. Dalam hal ini, yang bukan mahram (ajnabi) boleh menghajikan walaupun tanpa izin.
  2. Pada masa hidupnya ia tidak terkena kewajiban haji. Maka kerabat atau yang bukan mahram (ajnabi) disunnahkan menghajikannya. Hal ini baik ada wasiat maupun tidak.
  3. Ia sudah pernah berhaji untuk dirinya sendiri. Maka apakah perlu dihajikan lagi dengan status sunnah? Menurut pendapat al mu’tamad, ia dihajikan jika ada wasiat. Jika tidak ada wasiat, maka tidak perlu menghajikannya.

Sedangkan kemampuan atas ‘aajiz (orang yang sudah tidak mampu berhaji), maka ia bisa digantikan oleh orang lain. Syarat orang yang menggantikan adalah:

  1. Mendapat izin dari orang yang ‘aajiz.
  2. Orang yang menggantikan bisa dipercaya.
  3. Orang yang menggantikan sudah pernah berhaji untuk dirinya sendiri.

Untuk pembahasan lebih lengkapnya, silahkan lihat bahasan Tahqiq Ar-Raghbaat bi AtTaqsiimaat wa At-Tasyjiiroot li Tholabah Al-Fiqh Asy-Syafii. Syaikh Dr. Labib Najib ‘Abdullah Ghalib.

Wallahu a’lam

Keterangan: Isi dari artikel ini banyak diambil dari buku Catatan Fikih Haji dan Umrah karya Ust. Muhammad Abduh Tuasikal.

Paket Umroh Karawang

paket umroh vip februari 2023 karawang

Paket Umroh VIP Februari 2023 Karawang

Paket umroh VIP ini insyaa Allah akan memanjakan Anda dan keluarga. Kami mengutamakan kenyamanan selama perjalanan, kenyamanan selama menginap, dan kenyamanan dalam menjalankan ibadah umroh itu sendiri. Program umroh selama

Selengkapnya »
program umroh sesuai sunnah september 2022 karawang

Program Umroh September 2022

Alhamdulillah setelah umroh ditutup selama 2 tahun karena pandemi Covid-19, akhirnya kini pendaftaran umroh dibuka kembali. Hatiza Tour & Travel dan PT Haifa Nida Wisata (Izin kemenag RI SK no

Selengkapnya »

Leave a Comment